Rabu, 04 Januari 2012

materi pembelajaran PKn


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN DAN UPAYA
 PENINGKATAN PARTISIPASI

Oleh : Dra.Hj. Minarni, M.Pd.

ABSTRAK

Sampai sekarang ini, perempuan masih terasa dikesankan sebagai pelaku pembangunan kelas dua dan direspons tidak sebanding dengan laki-laki atau mendekati keadilan gender. Dalam akses dan kifrah pembangunan perempuan belum diposisikan dalam upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri. Perencanaan dan program pembangunan  belum melibatkan perempuan secara partisipatif , terutama pada tahapan perencanaan dan ligitimasi program. Upaya pemberdayaan perempuan dalam pembangunan baru pada tataran pelaksana pembangunan. Kesan dan respons semacam ini pada gilirannya menyisakan bias-bias gender dalam pembangunan. Tanggung jawab kewarganegaraan perempuan dalam pembangunan seakan-akan masih dipertanyakan dan dianggap tidak maksimal. Untuk itu agar kesan dan respons ini tidak menyudutkan perempuan perlu pendidikan kewarganegaraan perempuan dalam upaya meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan. Tanggung jawab pembangunan adalah tanggung jawab setiap warganegara tanpa melihat perbedaan jenis kelamin. Setiap warganegara dituntut untuk memberi partisipasinya dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan profesinya. Maksimalisasi keterlibatan setiap warga Negara dalam pembangunan idealnya mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan. Dengan keterlibatan perempuan pada setiap tahapan pembangunan menjadi ukuran tingkat partisipasi perempuan dalam pembangunan dan sekaligus menghilangkan kesan ketidakadilan gender.  

Kata kunci: Pendidikan , kewarganegaraan, perempuan, dan partisipasi pembangunan.

PENGANTAR
            Eksistensi dan kifrah kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa seringkali menunjukkan ketidakadilan, ketimpangan, dan ketertutupan atau keterbatasan. Kesan yang tampak dan diperlihatkan menunjukkan inferioritas terhadap kaum perempuan itu sendiri dan superioritas terhadap kaum laki-laki. Secara psikologis kaum perempuan berada pada posisi ketidakberdayaan dan marginal, dianaktirikan atau dikelasduakan. Pengutamaan terhadap kaum laki-laki semakin tampak dan menguat. Peluang dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menampakkan potensinya tertutupi oleh superioritas kaum laki-laki. Kenyataan semacam ini bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban kewarganegaraan dan warga Negara sebagai subyek dan obyek pembangunan menjadi tidak partisipatif dan kolaboratif. Kerjasama untuk saling mengisi dan melengkapi sebagai partner dalam pelaksanaan pembangunan semakin tidak tampak. Sebagai akibat dari kenyataan ini, maka peran dan ruang lingkup pekerjaan kaum perempuan pada umumnya masih berada pada sektor domistik yang berkaitan dengan rumah tangga. Padahal, dalam kenyataannya di dalam masyarakat sudah banyak sekali kaum perempuan yang sudah menempuh jenjang pendidikan formal sama seperti kaum laki-laki.       
Pembangunan sebagai upaya peningkatan kualitas dan martabat manusia adalah menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, apakah laki-laki atau perempuan. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan bangsa, sesuai dengan kemampuan, bidang keahlian, dan profesi masing-masing. Manakala dalam kifrah pembangunan tampak terlihat diskriminasi peran dan tanggung jawab sesungguhnya hanyalah peran dominan dan ketepatan pelaku, tidak berarti pembedaan peran dan tanggung jawab.
            Namun dalam kenyataannya, sebagaimana kita saksikan  bersama dalam pelaksanaanan partisipasi  pembangunan terjadi pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, padahal antara keduanya sama-sama sebagai warganegara yang semestinya memiliki hak dan tanggung jawab dalam melaksanakan pembangun dan menikmati pembangunan. Antara laki-laki dan perempuan memiliki legitimasi yang sama dan tanggung jawab sosial dan politik yang sama dalam kesuksesan pembangunan.
            Dalam pelaksanaan pembangunan tampak terjadi ketimpangan partisipasi yang amat tajam  dan disorientasi pembangunan. Terjadinya ketimpangan partisipasi ini semakin memperparah ketidakberdayaan perempuan, karena sejak awal proses pembangunan peluang perempuan untuk mengupayakan peran dan maksimalisasi perannya tidak terbentang secara nyata dan terbuka. Kaum perempuan hanya dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan dan kenyataan itu masih terbatas pada pelaksana pelengkap dan pendamping. Kifrah dan peran utama, secara sosiologis dan psikologis masih tersekat oleh paham-paham dan doktrin-doltrin yang sudah berkembang dan mengakar dalam masyarakat.          
            Terjadi diskriminasi partisipasi dan ketimpangan orientasi dalam pelaksanaan  pembanguna bangsa antara kaum laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang salah dan keliru dalam memahami peran laki-laki dan perempuan itu sendiri. Kesalahan dan kekeliruan pemahan itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruh oleh pemahaman agama yang berkaitan dengan laki-lakidan perempuan itu sendiri. Baik yang berkaitan dengan kifrah, maupun hak dan kewajiban.
            Bertitik tolak dari realita sebagaimana digambarkan diatas dan terjadinya pemahaman yang keliru dan salah tentang kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan bagi kaum perempuan, serta terjadinya disorientasi dalam pelaksanaan pembangunan. Baik pada tahapan-tahapan pembangunan, maupun pemanfaatan hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan, maka tulisan singkat ini mencoba untuk menelusuri bagaimana gambaran orientasi pembangunan yang dikembangkan dalam pembangunan bangsa dan bagaimana keberpihakan orientasi pembangunan itu dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri dan peluang untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Selain itu penulis juga mencoba menawarkan pendidikan kewarganegaraan yang semestinya dikembangkan untuk menghindari agar tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pelaksanaan pembangunan, karena kaum perempuan sebagai anggota dan warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan pembangunan.
            Untuk melihat beberapa persoalan yang akan dibahas, maka penulis mencoba melihatnya dari berbagai sisi yang terkait. Di antaranya penulis mencoba menelusuri sisi orientasi pelaksanaan pembangunan yang dikembangkan dan bagaimana sesungguhnya hak dan kewajiban kaum perempuan itu dalam melaksanakan pembangunan dalam kaitannya sebagai warganegar. Selain itu, penulis juga mencoba menganalisis mengapa dan factor-faktor apa saja sebetulnya yang mempengaruhi terjadi disorientasi dan partisipasi kaum perempuan dalam pelaksanaan pembangunan.    
PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN
            Secara historis, kepedulian dan keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan bangsa ini menunjukkan dinamika yang cukup baik. Peluang dan kesempatan pada dasarnya terhampar secara terbuka dan kesiapan kaum perempuanpun semakin matang . Namun secara sosiologis dan pskologis, karena pengaruh paham, doktrin, dan budaya bangsa, kesempatan kaum perempuan tidak seperti kaum laki-laki. Hambatan budaya membatasi kifrah perempuan.
Menurut  Etty, sebagaimana dikutip Ujang Mahadi, dalam dua dasawarsa terakhir ini orang menyaksikan bahwa kondisi dan posisi kaum perempuan sudah menjadi isu pembangunan dari tingkat lokal sampai global. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Triadi yang menyatakan bahwa, angin kesetaraan jender yang akhir-akhir ini menghembus dengan kencang, sangat berperan positif bagi upaya kaum perempuan mencari celah agar dirinya memiliki hak dan kedudukan setara dengan laki-laki. Semangat emansipasi yang didengungkan oleh RA. Kartini juga menjadi daya pemicu bagi kaum hawa untuk bisa berkifrah di bidang-bidang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sekali lagi, jumlah mereka masih relatif kecil jika dibanding  dengan kaum perempuan yang tidak bekerja[1]. Terlepas dari besar kecilnya kifrah kaum perempuan dalam perjalanan sejarah pembangunan, kesempatan untuk berpartisipasi dipersiapkan oleh kaum perempuan melalui berbagai penguatan eksistensi diri. Maka sebetulnya tidak mengherankan kalau dari waktu ke waktu jumlah kaum perempuan yang memiliki pendidikan formal semakin banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan disiplin ilmu yang sebelumnya hanya digeluti kaum laki-laki sekarang ini juga digeluti oleh kaum perempuan. Maka sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak melibatkan kaum perempuan agar berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan pembangunan. Pada saat sekarang ini, sudah banyak jabatan-jabatan strategis dalam pembangunan diduduki oleh kaum perempuan, hanya saja bagaimana kita secara terus menerus memberi pendidikan kepada masyarakat kita untuk tidak membedakan kesempatan untuk berpartisipasi itu antara kaum laki-laki dan perempuan. Pendidikan dan penanaman pemahaman semacam ini dianggap sangat penting, karena sistem budaya kita sangat kuat dan kental dalam tradisi pengutamaan kaum laki-laki.                 
            Pembangunan adalah tuntutan dan dinamika kehidupan manusia, tidak ada kehidupan umat manusia yang tidak membutuhkan pembangunan. Harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan dan dipertahankan melalui upaya pembangunan. Oleh karena itu, upaya pembangunan hendaklah melibatkan semua komponen dan elemen manusia, tanpa ada diskriminasi peran laki-laki atau perempua. Antara laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama. Sekalipun dalam bidang-bidang tertentu ada yang lebih tepat dilakukan oleh jenis kelamin tertentu, tetapi tidak berarti dan mesti diskriminatif. Dalam praktek dan pelaksanaannya dapat dilakukan secara bersama-sama, saling mengisi dan saling membantu.
            Untuk melakukan pembangunan sejatinya memang tidak membeda-bedakan antara peran laki-laki dan perempuan. Namun, akibat dominasi berbagai doktrin dan pemahaman serta kecenderungan struktur keluarga, harus diakui bahwa secara kuantitas prosentase kaum perempuan yang menduduki lowongan pekerjaan dalam berbagai bidang kehidupan masih berada di bawah jumlah kaum laki-laki. Jumlah kaum perempuan memang bergerak meningkat, jumlah kaum perempuan yang memasuki sektor publik semakin besar, penampakan jumlah perempuan akif semakin berkibar, namun masih tetap berada di bawah angka kaum laki-laki. Sekalipun jumlah kaum perempuan yang memiliki kemampuan yang sama dan sejajar dengan laki-laki semakin meningkat, dan dapat memasuki wilayah pekerjaan yang selama ini didominasi kaum laki-laki, hambatan-hambatan yang dialami kaum perempuan masih saja tetap terjadi. Baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal.     

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PEREMPUAN
            Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia merupakan proses panjang yang membutuhkan konsep dan perencanaan yang baik, tidak instant dan dilaksanakan secara serampangan atau tiba-tiba. Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Tanggung jawab pembangunan berada pada kaum laki-laki dan perempuan. Negara memberi legitimasi yang sama bagi laki-laki dan perempun, tidak ada diskriminasi hak dan kewajiban. Peluang untuk berbuat, berkreasi, dan berpartisipasi terbuka untuk dilakukan secara bersama-sama.
            Laki-laki dan perempuan secara bersama-sama memgang peranan penting dalam segala segi kehidupan, mereka adalah partner yang saling melengkapi dan harus bekerja sama secara kolaboratif. Tidak ada yang superior maupun inferior, masing-masing mereka mempunyai tugas dan fungsi sesuai dengan kodratnya. Apabil masing-masing dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara proporsional, maka keharmonisan antara laki-laki dan perempuan akan tumbuh, berkembang dan tercipta dalam realitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
            Adanya pemahaman dan doktrin dalam masyarakat  yang menyatakan bahwa laki-laki harus diutamakan dalam pelaksanaan pembangunan dan perempuan dikeduakan merupakan pemahaman dan doktrin yang salah dan keliru. Pengutamaan terhadap laki-laki ini pada mulanya adalah berkaitan dengan peluang utuk menjadi pemimpin, bukan pada partisipasi dalam melaksankan pembangunan. Pemahaman dan doktrin ini merupakan salah satu pemahaman yang dikembangkan dari ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan[2]. Dari pemahaman agama yang terkait dengan kepemimpinan ini kemudian berkembang pada partisipasi dalam pembangunan, sehingga seakan-akan peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sama dengan kesempatan dan peluang menjadi pemimpi. Dalam melaksanakan pembangunan tetap diutamakan kaum laki-laki, sama seperti dalam kepemimpinan, kaum perempuan tetap dinomor duakan dan berperan sebagai pelengkap.      

PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN TIDAK BIAS GENDER
            Pendidikan dan pembangunan memang tidak bisa dipisahkan, keduanya sangat terkait dan saling membutuhkan. Pelaksanaan pembangunan tanpa disertai dengan upaya peningkatan pendidikan tidak bisa berjalan baik. Sebaliknya, pendidikan tanpa upaya peningkatan pembangunan akan mengalami berbagai ketimpangan dan ketidakstabilan. Begitulah gambaran hubumgan keterkaitan antara kedua ungkapan tersebut. Antara pendidikan dan pembangunan saling melengkapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat semakin besar peluang terlaksananya pembengunan dengan baik. Sebaliknya, semakin baik pelaksanaan pembangunan semakin baik pengaruhnya terhadap pendidikan.
            Bila kita merujuk kepada sejarah perkembangan keilmuan dan lembaga atau institusi-institusi pendidikan, baik sejarah perkembangan keilmuan umum maupun agama terkesan oleh kita bahwa keterlibatan dan partisipasi kaum perempuan tidak sesemarak kaum laki-laki. Kemunculan tokoh dan pakar keilmuan, pendiri dan pengembang institusi pendidikan lebih banyak didominasi kaum laki-laki. Kenyataan ini tidak terlepas dari konstruksi sejarah social keilmuan pada waktu itu, di mana kaum perempuan secara cultural tidak banyak mendapat kesempatan untuk berbuat. Pengutamaan terhadap kaum laki-laki sudah terjadi sedemikian rupa.  
            Untuk optimalisasi pelaksanaan pembangunan dan upaya penghindaran bias jender idealnya diarahkan pada pembangunan berwawasan jender dengan menguatkan prinsip atau pendekatan pemberdayaan terhadap perempuan itu sendiri. Wawasan dan pendekatan semacam ini sering disebut dengan wawasan dan pendekatan responssif jender.
            Menurut Lidya, sebagai mana dikutip Atika, dalam melaksanakan perencanaan responsive jender para perempuan perlu melakukan analisis jender pada semua kebijakan/program pembangunan yaitu dengan memperhatikan 4 (empat) factor utama dan mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan jender, yaitu :
  1. Faktor Akses. Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan (tanah, rumah, keridit/modal, informasi, pendidikan dan lain-lain)
  2. Faktor kontrol, apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan
  3. Faktor partisipasi. Bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan (baik kuantitasnyamaupun pada kualitas, misalnya sebagai pengurus, anggota biasa dan lain-lain)
  4. Faktor manfaat. Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan, misalnya pendapatan, tekhnologi, peningkatan kemampuan atau kesejahteraan[3]
Melibatkan semua jenis kelamin dalam pembangunan merupakan persyaratan penting keberhasilan pembangunan itu sendiri. Dalam pelaksanaan pembangunan dan semua tahapan-tahapan yang dilalui tidak boleh ada diskriminasi jender. Semua pihak yang terlibat dengan kegiatan pmbangunan hendaknya menyadari bahwa dalam akses pembangunan penting mengikut sertakan semua jenis kelamin. Dengan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam tahapan-tahapan pembangunan keempat faktor utama perencanaan responsive jender sebagaimana ditawarkan Lidya di atas dapat berfungsi kolaboratif. Bik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan melakukan akses, kontrol, ikut berpartisipasi, dan sama-sama dapat menikmati manfaat hasil pembangunan.
Kalau selama ini kaum laki-laki yang banyak terlibat dalam kegiatan pembangunan, maka dengan keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan dapat memberi didikan dan dipahami oleh semua pihak bahwa dalam melaksnakan tugas pembangnan hendaknya ada upaya untuk memperhatikan berbagai macam dan bentuk kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan yang pada pelaksanaan sebelum ini terlupakan dan terabaikan oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan,    
             
ORIENTASI PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
            Untuk menghindari ketidakadilan gender dalam pembangunan seharusnya sudah dimulai dari orientasi pembangunan itu sendiri. Secara konsepsional bagaimana seharusnya pembangunan itu direncanakan dengan pembangunan yang berwawasan gender, yaitu dengan penguatan prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Manakala orientasi, konsep, dan upaya pembangunan sudah difokuskan pada prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan, maka sejak awal berarti pembangunan sudah disetting untuk tidak bias gender. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sudah mendapat ligitimasi yang kuat dan tidak tiba-tiba.
            Selama ini menurut Bemelen, sebagaimana dikutip Atika, kebijakan/program pembangunan yang ada dapat dikatakan netral gender. Karena prinsip pembangunan tersebut melihat prinsip pembangunan Gender and Deplovment (GAD) dan Women in Deplovment  (WID) di kalangan internal gender. Kondisi netral ini melahirkan kebijakan yang hanya membuat perempuan sama dengan laki-laki, yang penting perempuan ada bersama laki-laki mengisi pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan seperti ini memang sudah dapat dikatakan berwawasan gender. Namun di lihat dari hasil konfrensi [1]perempuan internasiaonal di Nairobi menunjukkan perempuan banyak dirugikan, di mana 2/3 pekerja dunia dilakukan oleh kaum perempuan, tetapi yang tercatat hanya 1/3 dari perempuan hanya memperoleh 10% dari pendapatan dunia[4].
            Kenyataan semacam ini masih menunjukkan bahwa dalam berbagai tahapan pembangunan, respons dan kesempatan untuk berbuat bagi kaum perempuan masih sering terjadi diskriminasi dan penindasan. Menurut penilaian Mansour Faqih, sebagaimana dikutip Rohimin, penindasan terhadap perempuan dilanggengkan dengan berbagai alas an dan cara, yaitu melalui sesuatu yang disebut dengan ekpoitasi pulang ke rumah. Sistem kapitalisme membuat laki-laki diekploitasi sedemikian rupa supaya lebih produktif, sementara perempuan hanya ditempatkan sebagai buruh cadangan. Sehingga wajar jika dalam pembagian upah kerja perempuan lebih rendah disbanding laki-laki. Pelanggengan dalam berbagai bentuk dan cara diskriminasi berupa penindasan terhadap kaum perempuan ini menambah terpojoknya kehidupan kaum perempuan dalam masyarakat. Karena itu lebih lanjut Faqih menawarkan dan memberi solusi bagaimana gerakan perempuan difokuskan pada penciptaan kehidupan yang lebih baik melalui, pertama, melakukan perlawanan terhadap hegemoni dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Melakukan dekonstruksi berarti mempertanyakan secara terus menerus semua hal yang menyangkut eksistensi perempuan di manapun dan dalam bentuk apapun. Kedua, melawan paradigma developmentalism, suatu paradigma yang menempatkan perempuan hanya sebagai obyek pembangunan yang diukur, diidentifikasi, dan deprogram menurut selera kaum elit yang menggunakan kuasa pengetahuan, kapitalisme, dan imajinasi modernitas[5].
            Tawaran lain menurut Musda Mulia, sebagaimana dikutip Rohimin, yang dapat melepaskan kaum perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi dan upaya-upaya peminggiran peran dapat juga dilakukan melalui sosialisasi gagasan dan ideideologi emansipasi. Dengan pengenalan dan pengadopsian gagasan dan ideologi ini bagaimana caranya mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang mendukung emansipasitanpa harus menimbulkan kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap dominasi laki-laki dan timbulnya dekadensi moral masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah melakukan dekonstruksi teologi terhadap ajaran agama yang berbicara soal relasi laki-laki dan perempuan[6].
            Dari beberapa tawaran dan solusi untuk mengurangi diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan dalam beberapa hal yang terjadi di dalam masyarkat kita, terutama yang terkait dengan persamaan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dan pemikir di atas, kiranya patut untuk dicermati bersama bagi para pelaku pembangunan, sehingga tidak terjadi diskriminasi dan pengabaian, dan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan semakin tampak kelihatan dan terjadi kolaborasi pelaksanaan pembangunan yang saling membutuhkan dan menguntungkan[7]                       

PENUTUP
            Dari pembahasan tentang pendidikan kewarganegaraan perempuan dan upaya peningkatan partisipasi pembangunan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada anggapan dan respons  bahwa tangung jawab pembangunan seakan-akan terfokus pada tanggung jawab kaum laki-laki. Keterlibatan kaum perempuan masih terbatas pada pelaksana atau pelaku pembangunan. Pelibatan perempuan tidak dilakukan pada setiap tahapan-tahapan pembangunan itu sendiri. Konsep dan oreintasi pembangunan masih berorientasi pada netral gender. Orientasi ini pada gilirannya melahirkan kebijakan bahwa perempuan ada bersama laki-laki dalam pembangunan.
Untuk menghindari agar tidak terjadi ketidakadilan gender dan bias gender sejatinya   pelaksanaan pembangunan sudah dimulai dari orientasi pembangunan itu sendiri. Secara konsepsional bagaimana seharusnya pembangunan itu direncanakan dengan pembangunan yang berwawasan gender, yaitu dengan penguatan prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Manakala orientasi, konsep, dan upaya pembangunan sudah difokuskan pada prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan, maka sejak awal berarti pembangunan sudah disetting untuk tidak bias gender. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sudah mendapat ligitimasi yang kuat dan tidak muncul tiba-tiba. Pelibatan perempuan dilakukan pada setiap tahapan pembangunan.  








CATATAN AKHIR

[1]Ujang Mahadi, Buruknya Komunikasi Sebagai penyebab Terjadinya perceraian, Wonderful Publishing Company, Banten, 2006, hlm, 73.

[2] Wacana kepemimpinan perempuan dalam agama Islam terjadi polemik dan silang pendapat yang berbeda-beda. Masing-masing pendapat memberi argumentasi untuk memperkuat pendapatnya. Pro dan kontra dalam persoalan kepemimpinan perempuan terus terjadi sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini terjadi karena di satu sisi ditemukan penafsiran nash al-Quran dan hadis yang secara tektual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, sekalipun ada yang membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin. Sementara di sisi lain ada kenyataan yang obyektif munculnya sejumlah perempuan potensial yang dapat memberi pengaruh kuat terhadap masyarakap dan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Dalam teks-teks ajaran agama Islam digambarkan bahwa laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Untuk penegasan ini biasanya dalil yang sering dipergunakan sebagai argument penguatan supremasi ialah al-Quran surat al-Nisa’ (4) ayat 34. Dalam ayat ini dinyatakan, ”Kaum laki-laki itu adalah bertanggung jawab (pemimpin) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”       

[3] Atika , Potret perempuan Indonesia Dalam Pembangunan Menuju Masyarakat Modern, dalam “Nurani”, volume 4, Nomor 1, juni 2004, hlm. 27 dan 28.

[4] Atika , Ibid., hlm. 27.

[5] Rohimin, InferioritasKaum Perempuan Dalam Penafsiran Ayat-ayat Tentang Gender, dalam “Hawa”, edisi II, volume 1, 2007, hlm.9.

[6]Rohimin, Ibid., 9 dan 10.  

[7]Secara histories bila kita perhatikan kenyataan di dalam masyarkat kita, terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan ini memang tampak terjadi ketidakadilan, penindasan, dan terjadi domonasi peran, hak, dan tanggung jawab antara keduanya. Tampaknya perbedaan jender membakukan kenyataan hubungan kedua jensis kelamin yang berbeda. Menurut Maria Ety, didalam bukunya,”Perempuan Memutus Mata Rantai Asimetri”, Ketidak adilan ini harus diakui berpangkal stereotype yang masih kuat di dalam masyarakat yang patriarki. Sehingga ada pembagian kerja secara seksual yang membuat peran perempuan yang utama di lingkungan domestik dan peran utama laki-laki di lingkungan publik ( lihat, Ety, 2004 :18 ).      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar