Rabu, 04 Januari 2012

artikel

PERPUSTAKAAN SEKOLAH SEBAGAI SALAH SATU SARANA PENUNJANG PENINGKATAN MINAT BACA SISWA MAN I MODEL BENGKULU



PENELITIAN INI DISUSUN SETELAH MENGIKUTI KURSUS TERTULIS PERPUSTAKAAN BINA PUSTAKA JAKARTA





NAMA                 : DRA, MINARNI,M.Pd
NO INDUK          : 15467
INSTANSI           : MAN I MODEL BENGKULU
ALAMAT            : JL. CIMANUK KM 6,5 KOTA BENGKULU





KATA PENGANTAR
Puji syukur atas Ridho dan karuniaNya, penulis diberi kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dan kita sampaikan Shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang telah memberi petunjuk   sehingga kita menuju jalan yang benar Amiiin.
Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penyusunan makalah ini kepada :
1. Bapak dan Ibu Segenap Sivitas Akademika Bina Pustaka Jakarta
2. Ibu Darnawilis, S.Ag   Kepala MAN I Model Bengkulu     yang telah memberikan   
    segala bantuan dan dukungan hingga terselesainya     pembuatan makalah ini.
3. Bapak Drs. Nasrin, M.A.d selaku Kepala  perpustakaan MAN I Model Bengkulu atas  
    segala fasilitas dan bantuannya.
    Serta tak lupa untuk Guru-guru dan karyawan yang telah mendukung dan     mensuport
    penulis.
Demikian pembuatan makalah ini, semoga bermanfaat bagi banyak pihak, kritik
serta saran yang membangun selaku penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

                                                     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................... 4
1.2 Tujuan Penulisan .................................................... 5
1.3 Manfaat Penulisan .................................................. 6
BAB II  PEMBAHASAN ..........................................7
2.1. Arti Perpustakaan ................................................. 8
2.2. Fungsi Pepustakaan ............................................. 10
2.3. Fungsi Manajemen ................................................11
2.4. Kiat Meningkatkan minat baca siswa .....................11
BAB III  PENUTUP ..................................................18
3.1. Kesimpulan ...........................................................18
3.2. Saran-saran ..........................................................18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................20






BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perpustakaan berasal dari kata “pustaka”. Menurut kamus umum bahasa Indonesia karangan Wj Purwadarminta, kata pustaka artinya buku. Sedangkan perpustakaan arti sederhana adalah suatu wadah atau tempat dimana di dalamnya terdapat bahan pustaka yang disusun menurut sistem tertentu untuk masyarakat pembacanya guna meningkatkan mutu kehidupannya..
Tujuan penyelenggaraan perpustakaan sekolah adalah menunjang program belajar bagi murid dan mengajar bagi guru agar tujuan umum dan khusus pendidikan tercapai secara optimal. Membangun serta memfasilitasi minat baca siswa, sehingga dapat membantu proses belajar mengajar serta memfasilitasi keinginan siswa untuk mengetahui hal-hal lain yang tidak diberi oleh pengajar atau guru.
Peranan perpustakaan sekolah berperan sebagai salah satu sarana pendidikan yang
bersifat teknis edukatif dan bersama -sama dengan unsur-unsur pendidikan lainnya ikut menentukan berhasilnya proses pendidikan.
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu sarana pendidikan penunjang Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) memegang peranan penting dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Pendidikan tidak mungkin terselenggara dengan baik bila para tenaga kependidikan maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar yang bersangkutan. Salah satu sumber belajar yang amat penting, tetapi bukan satu satunya adalah Perpustakaan. Hakikat perpustakaan sekolah adalah pusat sumber belajar dan sumber informasi bagi pemakainya. Perpustakaan dapat pula diartikan sebagai tempat kumpulan buku-buku atau tempat buku dihimpun dan diorganisasikan sebagai media belajar siswa. Wafford (1969:1) menerjemahkan perpustakaan sebagai salah satu organisasi sumber belajar yang menyimpan, mengelola, dan memberikan layanan bahan pustaka baik buku maupun non buku yang digunakan sebagai sumber informasi sekaligus sebagai sarana belajar yang menyenangkan. Perpustakaan sekolah sangat diperlukan keberadaanya dengan pertimbangan bahwa :
a. Perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar di lingkungan sekolah
b. Perpustakaan sekolah merupakan salah satu komponen system pengajar
c. Perpustakaan sekolah merupakan sumber untuk menunjang kualitas pendidikan
    dan pengajaran
d. Perpustakaan sekolah sebagai laboraturium belajar yang memungkinkan peserta
   didik dapat mempertajam dan memperluas kemampuan untuk membaca,
   menulis, berpikir dan berkomunikasi. Dalam praktiknya belum semua sekolah dapat  
   menyelenggarakan perpustakaan sekolah dengan baik. Masih banyak kendala yang  
   dihadapi oleh sekolah, salah satunya adalah kurangnya pengetahuan para pengelola   
   perpustakaan tentang masalah manajemen perpustakaan. Buku-buku tentang  
   perpustakaan sekolah beredar sementara ini kebanyakan membahas hal-hal teknis        
   tentang penyelenggaraan perpustakaan dan bukan manajemen dari perpustakaan itu  
  sendiri.
1.2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui kendala-kendala di dalam pengelolaan perpustakaan
2. Untuk membantu pihak pengelola perpustakaan untuk mengatasi permasalahan
    yang dihadapi.
1.3. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai sarana untuk mengetahui teori-teori atau konsep – konsep tentang
    manajemen atau pengelolaan perpustakaan.
2. Sebagai upaya perbaikan dalam pengelolaan perpustakaan















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Arti Perpustakaan
Perpustakaan menurut Wafford (1961:1) adalah salah satu organisasi sumber belajar yang menyimpan, mengelola dan memberikan bahan pustaka baik buku maupun non buku kepada masyarakat tertentu maupun masyarakat umum. Sedangkan menurut Mbulu (1992:89) menyatakan bahwa perpustakaan sekolah sangat diperlukan keberadaannya dengan pertimbangan bahwa :
a. Perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar dilingkungan sekolah
b. Perpustakaan sekolah merupakan salah satu komponen sistem pengajaran
c. Perpustakaan sekolah merupakan sumber untuk menunjang kualitas pendidikan
    dan pengajaran
d. Perpustakaan sekolah sebagai laboratorium belajar yang memungkinkan peserta
    didik dapat mempertajam daya pikirnya.
 2.2. Fungsi Perpustakaan
Fungsi perpustakaan sekolah pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a.  Sebagai pusat kegiatan belajar mengajar
     Mengembangkan kemampuan membaca dan menggunakan sumber-sumber      informasi lain bagi siswa, bagi guru, perpustakaan merupakan tempat untuk        men    ambah pengetahuannya dalam mempersiapkan bahan mengajar.
b. Sebagai tempat membantu siswa dalam memperjelas pengetahuan tentang     pelajaran  yang diterimanya di dalam kelas
c.   Sebagai pusat dalam penelitian sederhana
    Misalnya penelusuran kepustakaan yang kemudian dilanjutkan dengan
    penelitian yang berkaitan dengan mata pelajaran yang dipelajari
d. Sebagai tempat untuk memupuk daya kritis anak
e. Sebagai pusat informasi
f. Sebagai tempat mengembangkan bakat, minat dan kegemaran anak
g. Sebagai pusat pengembangan apresiasi budaya
    Perpustakaan menyediakan bahan pustaka yang mendidik murid dan guru untuk        
    menghargai nilai – nilai budaya
h. Sebagai tempat rekreasi     Perpustakaan dapat dijadikan tempat untuk memulihkan kejenuhan bagi anak    dengan jalan menyediakan buku-buku fiksi disamping buku non-fiksi.
2.3. Fungsi Manajemen
Agar perpustakaan dapat dilaksanakan dengan baik dibutuhkan suatu manajemen yang baik pula. Pada prinsipnya tugas seorang kepala perpustakaan dapat dibagi dalam beberapa fungsi yang disebut POSDCORB yaitu akronim dari planning, organizing, staffing, directing, Coordinating dan Budgeting. Perencanaan (Planning), penetapan tujuan, penentuan strategi, kebijaksanaan, prosedur dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian (Organizing). Penentuan struktur formal dengan mengelompokkan aktifitas-aktifitas kedalam bagian-bagian, koordinasi dan pendelegasian wewenang kepada individu-individu untuk melaksanakan tugasnya. Penyusunan personalia ( Staffing). Penempatan staf pada berbagai posisi sesuai dengan kemampuannya. Fungsi ini mencakup kegiatan penilaian karyawan untuk promosi, transfer atau bahkan demosi dan pemecatan serta latihan dan pengembangan karyawan Pengarahan (Directing). Sesudah rencana dibuat, organisasi dibentuk dan disusun personalianya, langkah selanjutnya menugaskan staf untuk bergerak menuju tujuan yang telah ditentukan. Koordinasi (Coordinating ). Pengkoordinasian berbagai kegiatan pada pekerjaanpekerjaan. Pelaporan (Reporting) Pimpinan harus selalu mengetahui apa yang sedang dilakukan, karena itu laporan diperlukan. Penganggaran (Budgeting) Pembiayaan dalam bentuk rencana anggaran dan pengawasan anggaran.
a. Kendala manajemen perpustakaan sekolah
Pada umumnya perpustakaan di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan, sehingga belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan tersebut berasal dari dua aspek. Pertama adalah aspek struktural, dalam arti keberadaan perpustakaan sekolah kurang memperoleh perhatian dari pihak manajemen sekolah. Kedua adalah aspek teknis, artinya keberadaan perpustakaan sekolah belum ditunjang aspek-aspek bersifat teknis yang sangat dibutuhkan oleh perpustakaan sekolah seperti tenaga, dana serta sarana prasarana.
b. Kebijakan pengembangan koleksi
Secara umum, pengembangan koleksi perlu merujuk pada prinsip pengembangan koleksi, yaitu sebagai berikut :
· Relevansi, aktivitas pemilihan dan pengadaan terkait dengan program pendidikan yang disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Berorientasi kepada pemakai. Dengan demikian kepentingan pengguna menjadi acuan dalam pemilihan dan pengadaan bahan pustaka.
 Kelengkapan Koleksi perpustakaan diusahakan tidak hanya terdiri dari buku teks yang langsung dipakai untuk mata pelajaran yang diberikan tetapi juga menyangkut bidang ilmu yang berkaitan erat dengan program yang ada dalam kurikulum.
· Kemuktahiran
Selain masalah kelengkapan, kemuktahiran sumber informasi harus diupayakan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemuktahiran bahan pustaka dapat dilihat dari tahun terbit.
· Kerjasama
Unsur- unsur yang terkait dalam pembinaan koleksi harus ada kerjasama yang baik dan harmonis sehingga pelaksanaan kegiatan pembinaan koleksi berjalan efektif dan efisien.
c. Sistem layanan perpustakaan
Secara umum sistem layanan perpustakaan ada dua macam yaitu layanan yang bersifat tertutup dan layanan perpustakaan yang bersifat terbuka. Pemilihan sistem layanan terbuka atau sistem layanan tertutup tergantung dari beberapa faktor :
· Pertimbagan tingkat keselamatan koleksi perpustakaan
· Pertimbangan jenis koleksi dan sifat rentan dari koleksi
· Perbandingan antara jumlah staf, jumlah pemakai dan jumlah koleksi
· Luas gedung perpustakaan
· Ratio antara jam layanan dengan jum;lah staf perpustakaan.
d. Manajemen Sumber Daya Pustakawan
Agar dapat memberikan layanan yang baik sesuai dengan fungsinya, perpustakaan memerlukan tenaga yang memadai baik dari jumlah dan kualitas yang harus dimilikinya. Jumlah dan kualitas dari tenaga pustakawan sangat tergantung dari jenis perpustakaan serta cakupan tugas yang harus dilaksanakannya. Menurut Bafadal (1996) pembinaan terhadap kemampuan petugas dan semangat kerja petugas perpustakaan sangat dibutuhkan karena tenaga perpustakaan selalu dituntut mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaikbaiknya, dan dengan moral kerja yang tinggi petugas perpustakaan akan mengerjakan tugas-tuganya dengan penuh semangat dan semata-mata mengabdikan dirinya untuk kepentingan pendidikan bangsa.
2.4 Kiat Meningkatkan minat baca siswa
Konsep minat baca
Minat sering disebut juga sebagai “ interest”. Minat merupakan gambaran sifat dan sikap ingin memiliki kecenderungan tertentu. Minat juga diartikan kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu dan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu. Minat bukan bawaan dari lahir, melainkan dapat dipengaruhi bakat. Minat harus diciptakan atau dibina agar tumbuh dan terasah sehingga menjadi kebiasaan. Melakukan sesuatu dengan terpaksa atau karena kewajiban walau dikerjakan dengan baik belum tentu menunjukkan minat yang baik, seperti membaca buku teks pelajaran. Membaca diartikan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Dari pengertian tersebut, membaca sebenarnya tidak hanya memahami kata-kata yang terdapat dalam bacaan, namun membaca merupakan suatu upaya menangkap atau menyerap konsep yang dituangkan pengarang sehingga memperoleh penguasaan bahkan mengkritisi bahan bacaan. Demikian juga dengan para siswa yang dituntut untuk memiliki kemampuan membaca yang bertujuan :
1. Agar Siswa mampu memahami isi bacaan
2. Agar siswa dapat meningkatkan kemampuan di bidang berbahasa
3. Agar siswa mampu memahami isi bacaan untuk menambah pengetahuan
4. Agar siswa dapat menanamkan rasa senang membaca dan menjadikannya suatu                
      kebiasaan
5. Untuk meningkatkan layanan perpustakaan sehingga siswa maupun civitas yang lain 
     lebih senang keperpustakaan.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan minat baca siswa
Untuk membina dan mengembangkan minat baca siswa tidak bisa terlepas dari pembinaan kemampuan membaca siswa, sebab seperti telah dijelaskan bahwa untuk menjadi orang yang minat tentunya harus mampu membaca. Tanpa memiliki kemampuan membaca tidak mungkin merasa senang membaca. Dalam rangka mengemban misi perpustakaan sekolah, guru, pustakawan selaku pengelola perpustakaan sekolah harus berusaha semaksimal mungkin membina kemampuan membaca siswa sehingga pada diri mereka tumbuh rasa senang membaca. Untuk dapat membina kemampuan membaca siswa, guru, pustakawan harus benar-benar memahami seluk beluk membaca, sehingga membaca menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan sekaligus bermanfaat. Sudah barang tentu pembinaan kemampuan membaca dalam rangka pembinaan dan pengembangan minat baca siswa akan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan sekolahnya. Semakin tinggi tingkatan sekolah seseorang akan lebih mampu membaca.
Kalau kita perhatikan definisi perpustakaan tersebut terdapat 5 unsur :
1. Wadah atau Tempat :
Dapat berupa gedung , ruang , lemari buku , rak buku dan sebagainya.
2. Bahan Pustaka
Dapat berupa barang cetakan misalnya: buku majalah,surat kabar,atlas dan sebagainya
Yang berupa rekamam misalnya : Piringan itam,Tape,Gambar,Lukisan,Film,udiovisual
3. Disusun menurut Sistem Tertentu
Yang dimaksud dengan penyusunan dengan cara tertentu agar mudah diketemukan, sewaktu – waktu bila diperlukan Jadi banyak menyangkut pekerjaan teknis yang dilakukan oleh petugas Perpustakaan.
4. Masyarakat Pembaca
Yaitu masyarakat yang senang membaca misalnya: dosen, mahasiswa, Guru Besar,pelajar,petani,satrawan,wartawan,militer, pustakawan, nelayan,buruh,masyarakat dan sebagainya.
5. Guna Meningkatkan Mutu Kehidupannya
Bila seseorang datang ke Perpustakaan diharapkan dapat meningkatkan mutu kehidupan dan menambah pengetahuan atau mencari informasi atau rekreasi yang positif . Yang artinya bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari
hari ini.
Faktor pendukung minat baca
Agar pembinaan dan pengembangan minat membaca siswa dapat berjalan dengan lancar dan baik, sehingan para siswa dapat memetik manfaat yang diperoleh dari membaca diperlukan beberapa faktor pendukung antara lain: Untuk Meningkatkan Minat Membaca Siswa Salah satu faktor pendukungnya adalah tersediannya perpustakaan namun dalam kenyataanya perpustakaan sekolah sering dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan umum, diantaranya sebagai berikut:
1. Banyak sekolah belum menyelengarakan perpustakaan sekolah
2. Keberadaan dan kegiatan perpustakaan sekolah sangat tergantung dari sikap       kepala sekolah karena beliaulah yang memegang kebijaksanaan dalam      pendanaanya
3. Tidak adanya tenaga pustakawan yang tetap, kebanyakan perpustakaan dikelola 
    oleh seorang guru atau tenaga administrasi sekolah yang tidak sepenuhnya paham
    tentang perpustakaan
4. Koleksi perpustakaan sekolah umumnya sangat lemah dan belum terarah
5. Sumber dana yang sangat terbatas
6. Banyak sekolah tidak mempunyai ruangan khusus untuk perpustakaan
7. Kurangnya bahan bacan atau buku yang menunjang pelajaran seperti cerita rakyat,
     Majalah ringan, majalah umum.
Faktor Pendukung Pembinaan dan pengembangan minat baca siswa tidak terlepas dari pembinaan kemampuan siswa dalam membaca, sebab untuk menjadi orang yang minat tentu harus membaca. Tanpa memiliki kemampuan membaca tidak mungkin merasa senang membaca.Adapun faktor yang mendukung pembinaan minat baca
(1)  secara ilmiah orang beragama mempunyai kitab suci harus dibaca,
(2)  orang yang berpendidikan sudah relatif banyak
(3)  bahan bacaan sudah relatif tersedia,
(4)  perpusatakaan sudah mulai berkembang
(5)  perhatian pemerintah sudah ada walu belum memadai
(6)  faktor transportasi, komunikasi,informasi dan iptek relatif banyak
Faktor penghambat minat baca
Rendahnya minat baca dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Belum banyak dirasakan manfaat langsung dari membaca
2. Bahan bacaan belum merata
3. Pembinaan Perpustakaan belum merata
4. Kemajuan Teknologi lebih menarik perhatian
5. Daya beli bahan bacaan masih kurang
Adapun faktor penghambat Rendahnya minat baca dipengaruhi oleh beberapa 
     faktor antara lain:
(1) belum banyak dirasakan manfaat langsung dari membaca  (2) bahan bacaan belum merata   (3) pembinaan perpustakaan belum merata (4) pemajuan tekhnolagi lebih menarik perhatian  (5) daya beli kurang
Kiat meningkatkan minat baca siswa Ada banyak kiat yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca siswa, antara lain:
a. Memperkenalkan buku-buku
b. Memperkenalkan hasil karya sastrawan
c. Displey Referensi
d. Pameran buku
e. Majalah dinding
f. Melaksanakan program wajib baca
g. Mengadakan lomba minat baca
h. Memilih siswa teladan membaca buku paling banyak
i. Mengadakan kuis
j. Pemutaran film, video, CD di perpustakaan
k. Memberikan bimbingan membaca, dll

Kiat meningkatkan minat baca siswa
Ada banyak kiat yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca siswa antara lain 
1. Memperkenalkan buku-buku cara ini dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran
     maupun pustakawan. Buku yang diperkenalkan biasanya buku yang baru,  menarik
     dan dapat ditunjukkan secara langsung.
2. Pameran buku Pameran buku dapat dilaksanakan dengan bekerjasama dengan   toko
    buku atau penerbit. Dengan memberikan potongan harga, diharapkan siswa          
    tertarik untuk membaca atau membelinya.
3. Majalah Dinding Majalah dinding hingga dewasa ini masih merupakan media
    sederhana untuk berekspresi dan berkreasi. Majalah dinding dapat menjadi media   
    kelas dan sekolah.  Faktor-faktor untuk meningkatkan minat baca Untuk membina dan mengembangkan minat baca siswa tidak bisa terlepas dari pembinaan kemampuan membaca siswa, sebab seperti telah dijelaskanbahwa untuk menjadi orang minat tentunya harus mampu membaca. Sudah barang tentu pembinaan kemampuan membaca dalam rangka pembinaan dan pembinaan minat baca siswa akan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan sekolahnya. Prinsip-prinsip membaca: (1) membaca merupakan proses berfikir yang kompleks, (2) kemampuan membaca tiap orang berbeda-beda,(3)pembinaan kemampuan membaca atas dasar evaluasi (4) membaca harus menjadi pengalaman yang memuaskan, (5) kemahiran membaca perlu adanya latihan yang kontinyu, (6) evaluasi yang kontinyu dan konprehensif merupakan batu loncatan dalam pembinaan minat baca dan (7) membaca yang baik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan belajar.
Faktor Pendukung Pembinaan dan pengembangan minat baca siswa tidak terlepas dari pembinaan kemampuan siswa dalam membaca, sebab untuk menjadi orang yang minat tentu harus membaca. Tanpa memiliki kemampuan membaca tidak mungkin merasa senang membaca.Adapun faktor yang mendukung pembinaan minat baca
(1)  secara ilmiah orang beragama mempunyai kitab suci harus dibaca,
(2)  orang yang berpendidikan sudah relatif banyak
(3)  bahan bacaan sudah relatif tersedia,
(4)  perpusatakaan sudah mulai berkembang
(5)  perhatian pemerintah sudah ada walu belum memadai
(6)  faktor transportasi, komunikasi,informasi dan iptek relatif banyak


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan :
Perpustakaan sekolah merupakan sarana yang penting dalam setiap program pendidikan dan pengajaran. Kepala sekolah dan kepala perpustakaan memegang peranan yang sangat penting atas keberhasilan suatu perpustakaan. Apabila kepala sekolah menyadari pentingnya perpustakaan untuk mendukukng program pendidikan sudah tentu perhatian kepada perkembangan perpustakaan diprioritaskan, baik dari segi alokasi dana, tenaga maupun ruangan perpustakaan. Pustakawan sebagai roda penggerak dituntut berdedikasi tinggi serta penuh pengabdian dalam bertugas untuk meningkatkan peran serta perpustakaan. Dengan kemajuan teknologi pustakawan harus meningkatkan kualitas serta kepekaannya terhadap kemajuan – kemajuan yang ada hubungannya dengan perkembangan  serta peningkatan pelayanan. Anggaran merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu perpustakaan.

3.2 Saran-Saran
Kita menyadari sepenuhnya bahwa banyak masalah – masalah yang
dihadapi perpustakaan sekolah saat ini,,untuk memecahkan masalah tersebut
diperlukan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yaitu pemerintah, kepala
sekolah, kepala perpustakaan, guru, pustakawan,wali murid dan murid ssendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Maryono, Agus. 2003. Manajemen Perpustakaan. Probolinggo : Dinas Pendidikan dan
kebudayaan, perpustakaan Umum Kota Probolinggo.
Darmono, 2001. Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Grasindo.

Bafadal, Ibrahim. 1996. Pengelolaan Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara.

Mbulu, Yoseph. 1992. Pemanfaatan Perpustakaan Sekolah dalam Kegiatan Belajar
Mengajar. Majalah Pendidikan. XIX, 27.























































materi pembelajaran PKn


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN DAN UPAYA
 PENINGKATAN PARTISIPASI

Oleh : Dra.Hj. Minarni, M.Pd.

ABSTRAK

Sampai sekarang ini, perempuan masih terasa dikesankan sebagai pelaku pembangunan kelas dua dan direspons tidak sebanding dengan laki-laki atau mendekati keadilan gender. Dalam akses dan kifrah pembangunan perempuan belum diposisikan dalam upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri. Perencanaan dan program pembangunan  belum melibatkan perempuan secara partisipatif , terutama pada tahapan perencanaan dan ligitimasi program. Upaya pemberdayaan perempuan dalam pembangunan baru pada tataran pelaksana pembangunan. Kesan dan respons semacam ini pada gilirannya menyisakan bias-bias gender dalam pembangunan. Tanggung jawab kewarganegaraan perempuan dalam pembangunan seakan-akan masih dipertanyakan dan dianggap tidak maksimal. Untuk itu agar kesan dan respons ini tidak menyudutkan perempuan perlu pendidikan kewarganegaraan perempuan dalam upaya meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan. Tanggung jawab pembangunan adalah tanggung jawab setiap warganegara tanpa melihat perbedaan jenis kelamin. Setiap warganegara dituntut untuk memberi partisipasinya dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan profesinya. Maksimalisasi keterlibatan setiap warga Negara dalam pembangunan idealnya mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan. Dengan keterlibatan perempuan pada setiap tahapan pembangunan menjadi ukuran tingkat partisipasi perempuan dalam pembangunan dan sekaligus menghilangkan kesan ketidakadilan gender.  

Kata kunci: Pendidikan , kewarganegaraan, perempuan, dan partisipasi pembangunan.

PENGANTAR
            Eksistensi dan kifrah kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa seringkali menunjukkan ketidakadilan, ketimpangan, dan ketertutupan atau keterbatasan. Kesan yang tampak dan diperlihatkan menunjukkan inferioritas terhadap kaum perempuan itu sendiri dan superioritas terhadap kaum laki-laki. Secara psikologis kaum perempuan berada pada posisi ketidakberdayaan dan marginal, dianaktirikan atau dikelasduakan. Pengutamaan terhadap kaum laki-laki semakin tampak dan menguat. Peluang dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menampakkan potensinya tertutupi oleh superioritas kaum laki-laki. Kenyataan semacam ini bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban kewarganegaraan dan warga Negara sebagai subyek dan obyek pembangunan menjadi tidak partisipatif dan kolaboratif. Kerjasama untuk saling mengisi dan melengkapi sebagai partner dalam pelaksanaan pembangunan semakin tidak tampak. Sebagai akibat dari kenyataan ini, maka peran dan ruang lingkup pekerjaan kaum perempuan pada umumnya masih berada pada sektor domistik yang berkaitan dengan rumah tangga. Padahal, dalam kenyataannya di dalam masyarakat sudah banyak sekali kaum perempuan yang sudah menempuh jenjang pendidikan formal sama seperti kaum laki-laki.       
Pembangunan sebagai upaya peningkatan kualitas dan martabat manusia adalah menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, apakah laki-laki atau perempuan. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan bangsa, sesuai dengan kemampuan, bidang keahlian, dan profesi masing-masing. Manakala dalam kifrah pembangunan tampak terlihat diskriminasi peran dan tanggung jawab sesungguhnya hanyalah peran dominan dan ketepatan pelaku, tidak berarti pembedaan peran dan tanggung jawab.
            Namun dalam kenyataannya, sebagaimana kita saksikan  bersama dalam pelaksanaanan partisipasi  pembangunan terjadi pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, padahal antara keduanya sama-sama sebagai warganegara yang semestinya memiliki hak dan tanggung jawab dalam melaksanakan pembangun dan menikmati pembangunan. Antara laki-laki dan perempuan memiliki legitimasi yang sama dan tanggung jawab sosial dan politik yang sama dalam kesuksesan pembangunan.
            Dalam pelaksanaan pembangunan tampak terjadi ketimpangan partisipasi yang amat tajam  dan disorientasi pembangunan. Terjadinya ketimpangan partisipasi ini semakin memperparah ketidakberdayaan perempuan, karena sejak awal proses pembangunan peluang perempuan untuk mengupayakan peran dan maksimalisasi perannya tidak terbentang secara nyata dan terbuka. Kaum perempuan hanya dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan dan kenyataan itu masih terbatas pada pelaksana pelengkap dan pendamping. Kifrah dan peran utama, secara sosiologis dan psikologis masih tersekat oleh paham-paham dan doktrin-doltrin yang sudah berkembang dan mengakar dalam masyarakat.          
            Terjadi diskriminasi partisipasi dan ketimpangan orientasi dalam pelaksanaan  pembanguna bangsa antara kaum laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang salah dan keliru dalam memahami peran laki-laki dan perempuan itu sendiri. Kesalahan dan kekeliruan pemahan itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruh oleh pemahaman agama yang berkaitan dengan laki-lakidan perempuan itu sendiri. Baik yang berkaitan dengan kifrah, maupun hak dan kewajiban.
            Bertitik tolak dari realita sebagaimana digambarkan diatas dan terjadinya pemahaman yang keliru dan salah tentang kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan bagi kaum perempuan, serta terjadinya disorientasi dalam pelaksanaan pembangunan. Baik pada tahapan-tahapan pembangunan, maupun pemanfaatan hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan, maka tulisan singkat ini mencoba untuk menelusuri bagaimana gambaran orientasi pembangunan yang dikembangkan dalam pembangunan bangsa dan bagaimana keberpihakan orientasi pembangunan itu dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri dan peluang untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Selain itu penulis juga mencoba menawarkan pendidikan kewarganegaraan yang semestinya dikembangkan untuk menghindari agar tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pelaksanaan pembangunan, karena kaum perempuan sebagai anggota dan warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan pembangunan.
            Untuk melihat beberapa persoalan yang akan dibahas, maka penulis mencoba melihatnya dari berbagai sisi yang terkait. Di antaranya penulis mencoba menelusuri sisi orientasi pelaksanaan pembangunan yang dikembangkan dan bagaimana sesungguhnya hak dan kewajiban kaum perempuan itu dalam melaksanakan pembangunan dalam kaitannya sebagai warganegar. Selain itu, penulis juga mencoba menganalisis mengapa dan factor-faktor apa saja sebetulnya yang mempengaruhi terjadi disorientasi dan partisipasi kaum perempuan dalam pelaksanaan pembangunan.    
PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN
            Secara historis, kepedulian dan keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan bangsa ini menunjukkan dinamika yang cukup baik. Peluang dan kesempatan pada dasarnya terhampar secara terbuka dan kesiapan kaum perempuanpun semakin matang . Namun secara sosiologis dan pskologis, karena pengaruh paham, doktrin, dan budaya bangsa, kesempatan kaum perempuan tidak seperti kaum laki-laki. Hambatan budaya membatasi kifrah perempuan.
Menurut  Etty, sebagaimana dikutip Ujang Mahadi, dalam dua dasawarsa terakhir ini orang menyaksikan bahwa kondisi dan posisi kaum perempuan sudah menjadi isu pembangunan dari tingkat lokal sampai global. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Triadi yang menyatakan bahwa, angin kesetaraan jender yang akhir-akhir ini menghembus dengan kencang, sangat berperan positif bagi upaya kaum perempuan mencari celah agar dirinya memiliki hak dan kedudukan setara dengan laki-laki. Semangat emansipasi yang didengungkan oleh RA. Kartini juga menjadi daya pemicu bagi kaum hawa untuk bisa berkifrah di bidang-bidang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sekali lagi, jumlah mereka masih relatif kecil jika dibanding  dengan kaum perempuan yang tidak bekerja[1]. Terlepas dari besar kecilnya kifrah kaum perempuan dalam perjalanan sejarah pembangunan, kesempatan untuk berpartisipasi dipersiapkan oleh kaum perempuan melalui berbagai penguatan eksistensi diri. Maka sebetulnya tidak mengherankan kalau dari waktu ke waktu jumlah kaum perempuan yang memiliki pendidikan formal semakin banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan disiplin ilmu yang sebelumnya hanya digeluti kaum laki-laki sekarang ini juga digeluti oleh kaum perempuan. Maka sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak melibatkan kaum perempuan agar berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan pembangunan. Pada saat sekarang ini, sudah banyak jabatan-jabatan strategis dalam pembangunan diduduki oleh kaum perempuan, hanya saja bagaimana kita secara terus menerus memberi pendidikan kepada masyarakat kita untuk tidak membedakan kesempatan untuk berpartisipasi itu antara kaum laki-laki dan perempuan. Pendidikan dan penanaman pemahaman semacam ini dianggap sangat penting, karena sistem budaya kita sangat kuat dan kental dalam tradisi pengutamaan kaum laki-laki.                 
            Pembangunan adalah tuntutan dan dinamika kehidupan manusia, tidak ada kehidupan umat manusia yang tidak membutuhkan pembangunan. Harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan dan dipertahankan melalui upaya pembangunan. Oleh karena itu, upaya pembangunan hendaklah melibatkan semua komponen dan elemen manusia, tanpa ada diskriminasi peran laki-laki atau perempua. Antara laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama. Sekalipun dalam bidang-bidang tertentu ada yang lebih tepat dilakukan oleh jenis kelamin tertentu, tetapi tidak berarti dan mesti diskriminatif. Dalam praktek dan pelaksanaannya dapat dilakukan secara bersama-sama, saling mengisi dan saling membantu.
            Untuk melakukan pembangunan sejatinya memang tidak membeda-bedakan antara peran laki-laki dan perempuan. Namun, akibat dominasi berbagai doktrin dan pemahaman serta kecenderungan struktur keluarga, harus diakui bahwa secara kuantitas prosentase kaum perempuan yang menduduki lowongan pekerjaan dalam berbagai bidang kehidupan masih berada di bawah jumlah kaum laki-laki. Jumlah kaum perempuan memang bergerak meningkat, jumlah kaum perempuan yang memasuki sektor publik semakin besar, penampakan jumlah perempuan akif semakin berkibar, namun masih tetap berada di bawah angka kaum laki-laki. Sekalipun jumlah kaum perempuan yang memiliki kemampuan yang sama dan sejajar dengan laki-laki semakin meningkat, dan dapat memasuki wilayah pekerjaan yang selama ini didominasi kaum laki-laki, hambatan-hambatan yang dialami kaum perempuan masih saja tetap terjadi. Baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal.     

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PEREMPUAN
            Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia merupakan proses panjang yang membutuhkan konsep dan perencanaan yang baik, tidak instant dan dilaksanakan secara serampangan atau tiba-tiba. Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Tanggung jawab pembangunan berada pada kaum laki-laki dan perempuan. Negara memberi legitimasi yang sama bagi laki-laki dan perempun, tidak ada diskriminasi hak dan kewajiban. Peluang untuk berbuat, berkreasi, dan berpartisipasi terbuka untuk dilakukan secara bersama-sama.
            Laki-laki dan perempuan secara bersama-sama memgang peranan penting dalam segala segi kehidupan, mereka adalah partner yang saling melengkapi dan harus bekerja sama secara kolaboratif. Tidak ada yang superior maupun inferior, masing-masing mereka mempunyai tugas dan fungsi sesuai dengan kodratnya. Apabil masing-masing dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara proporsional, maka keharmonisan antara laki-laki dan perempuan akan tumbuh, berkembang dan tercipta dalam realitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
            Adanya pemahaman dan doktrin dalam masyarakat  yang menyatakan bahwa laki-laki harus diutamakan dalam pelaksanaan pembangunan dan perempuan dikeduakan merupakan pemahaman dan doktrin yang salah dan keliru. Pengutamaan terhadap laki-laki ini pada mulanya adalah berkaitan dengan peluang utuk menjadi pemimpin, bukan pada partisipasi dalam melaksankan pembangunan. Pemahaman dan doktrin ini merupakan salah satu pemahaman yang dikembangkan dari ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan[2]. Dari pemahaman agama yang terkait dengan kepemimpinan ini kemudian berkembang pada partisipasi dalam pembangunan, sehingga seakan-akan peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sama dengan kesempatan dan peluang menjadi pemimpi. Dalam melaksanakan pembangunan tetap diutamakan kaum laki-laki, sama seperti dalam kepemimpinan, kaum perempuan tetap dinomor duakan dan berperan sebagai pelengkap.      

PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN TIDAK BIAS GENDER
            Pendidikan dan pembangunan memang tidak bisa dipisahkan, keduanya sangat terkait dan saling membutuhkan. Pelaksanaan pembangunan tanpa disertai dengan upaya peningkatan pendidikan tidak bisa berjalan baik. Sebaliknya, pendidikan tanpa upaya peningkatan pembangunan akan mengalami berbagai ketimpangan dan ketidakstabilan. Begitulah gambaran hubumgan keterkaitan antara kedua ungkapan tersebut. Antara pendidikan dan pembangunan saling melengkapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat semakin besar peluang terlaksananya pembengunan dengan baik. Sebaliknya, semakin baik pelaksanaan pembangunan semakin baik pengaruhnya terhadap pendidikan.
            Bila kita merujuk kepada sejarah perkembangan keilmuan dan lembaga atau institusi-institusi pendidikan, baik sejarah perkembangan keilmuan umum maupun agama terkesan oleh kita bahwa keterlibatan dan partisipasi kaum perempuan tidak sesemarak kaum laki-laki. Kemunculan tokoh dan pakar keilmuan, pendiri dan pengembang institusi pendidikan lebih banyak didominasi kaum laki-laki. Kenyataan ini tidak terlepas dari konstruksi sejarah social keilmuan pada waktu itu, di mana kaum perempuan secara cultural tidak banyak mendapat kesempatan untuk berbuat. Pengutamaan terhadap kaum laki-laki sudah terjadi sedemikian rupa.  
            Untuk optimalisasi pelaksanaan pembangunan dan upaya penghindaran bias jender idealnya diarahkan pada pembangunan berwawasan jender dengan menguatkan prinsip atau pendekatan pemberdayaan terhadap perempuan itu sendiri. Wawasan dan pendekatan semacam ini sering disebut dengan wawasan dan pendekatan responssif jender.
            Menurut Lidya, sebagai mana dikutip Atika, dalam melaksanakan perencanaan responsive jender para perempuan perlu melakukan analisis jender pada semua kebijakan/program pembangunan yaitu dengan memperhatikan 4 (empat) factor utama dan mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan jender, yaitu :
  1. Faktor Akses. Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan (tanah, rumah, keridit/modal, informasi, pendidikan dan lain-lain)
  2. Faktor kontrol, apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan
  3. Faktor partisipasi. Bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan (baik kuantitasnyamaupun pada kualitas, misalnya sebagai pengurus, anggota biasa dan lain-lain)
  4. Faktor manfaat. Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan, misalnya pendapatan, tekhnologi, peningkatan kemampuan atau kesejahteraan[3]
Melibatkan semua jenis kelamin dalam pembangunan merupakan persyaratan penting keberhasilan pembangunan itu sendiri. Dalam pelaksanaan pembangunan dan semua tahapan-tahapan yang dilalui tidak boleh ada diskriminasi jender. Semua pihak yang terlibat dengan kegiatan pmbangunan hendaknya menyadari bahwa dalam akses pembangunan penting mengikut sertakan semua jenis kelamin. Dengan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam tahapan-tahapan pembangunan keempat faktor utama perencanaan responsive jender sebagaimana ditawarkan Lidya di atas dapat berfungsi kolaboratif. Bik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan melakukan akses, kontrol, ikut berpartisipasi, dan sama-sama dapat menikmati manfaat hasil pembangunan.
Kalau selama ini kaum laki-laki yang banyak terlibat dalam kegiatan pembangunan, maka dengan keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan dapat memberi didikan dan dipahami oleh semua pihak bahwa dalam melaksnakan tugas pembangnan hendaknya ada upaya untuk memperhatikan berbagai macam dan bentuk kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan yang pada pelaksanaan sebelum ini terlupakan dan terabaikan oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan,    
             
ORIENTASI PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
            Untuk menghindari ketidakadilan gender dalam pembangunan seharusnya sudah dimulai dari orientasi pembangunan itu sendiri. Secara konsepsional bagaimana seharusnya pembangunan itu direncanakan dengan pembangunan yang berwawasan gender, yaitu dengan penguatan prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Manakala orientasi, konsep, dan upaya pembangunan sudah difokuskan pada prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan, maka sejak awal berarti pembangunan sudah disetting untuk tidak bias gender. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sudah mendapat ligitimasi yang kuat dan tidak tiba-tiba.
            Selama ini menurut Bemelen, sebagaimana dikutip Atika, kebijakan/program pembangunan yang ada dapat dikatakan netral gender. Karena prinsip pembangunan tersebut melihat prinsip pembangunan Gender and Deplovment (GAD) dan Women in Deplovment  (WID) di kalangan internal gender. Kondisi netral ini melahirkan kebijakan yang hanya membuat perempuan sama dengan laki-laki, yang penting perempuan ada bersama laki-laki mengisi pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan seperti ini memang sudah dapat dikatakan berwawasan gender. Namun di lihat dari hasil konfrensi [1]perempuan internasiaonal di Nairobi menunjukkan perempuan banyak dirugikan, di mana 2/3 pekerja dunia dilakukan oleh kaum perempuan, tetapi yang tercatat hanya 1/3 dari perempuan hanya memperoleh 10% dari pendapatan dunia[4].
            Kenyataan semacam ini masih menunjukkan bahwa dalam berbagai tahapan pembangunan, respons dan kesempatan untuk berbuat bagi kaum perempuan masih sering terjadi diskriminasi dan penindasan. Menurut penilaian Mansour Faqih, sebagaimana dikutip Rohimin, penindasan terhadap perempuan dilanggengkan dengan berbagai alas an dan cara, yaitu melalui sesuatu yang disebut dengan ekpoitasi pulang ke rumah. Sistem kapitalisme membuat laki-laki diekploitasi sedemikian rupa supaya lebih produktif, sementara perempuan hanya ditempatkan sebagai buruh cadangan. Sehingga wajar jika dalam pembagian upah kerja perempuan lebih rendah disbanding laki-laki. Pelanggengan dalam berbagai bentuk dan cara diskriminasi berupa penindasan terhadap kaum perempuan ini menambah terpojoknya kehidupan kaum perempuan dalam masyarakat. Karena itu lebih lanjut Faqih menawarkan dan memberi solusi bagaimana gerakan perempuan difokuskan pada penciptaan kehidupan yang lebih baik melalui, pertama, melakukan perlawanan terhadap hegemoni dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Melakukan dekonstruksi berarti mempertanyakan secara terus menerus semua hal yang menyangkut eksistensi perempuan di manapun dan dalam bentuk apapun. Kedua, melawan paradigma developmentalism, suatu paradigma yang menempatkan perempuan hanya sebagai obyek pembangunan yang diukur, diidentifikasi, dan deprogram menurut selera kaum elit yang menggunakan kuasa pengetahuan, kapitalisme, dan imajinasi modernitas[5].
            Tawaran lain menurut Musda Mulia, sebagaimana dikutip Rohimin, yang dapat melepaskan kaum perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi dan upaya-upaya peminggiran peran dapat juga dilakukan melalui sosialisasi gagasan dan ideideologi emansipasi. Dengan pengenalan dan pengadopsian gagasan dan ideologi ini bagaimana caranya mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang mendukung emansipasitanpa harus menimbulkan kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap dominasi laki-laki dan timbulnya dekadensi moral masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah melakukan dekonstruksi teologi terhadap ajaran agama yang berbicara soal relasi laki-laki dan perempuan[6].
            Dari beberapa tawaran dan solusi untuk mengurangi diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan dalam beberapa hal yang terjadi di dalam masyarkat kita, terutama yang terkait dengan persamaan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dan pemikir di atas, kiranya patut untuk dicermati bersama bagi para pelaku pembangunan, sehingga tidak terjadi diskriminasi dan pengabaian, dan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan semakin tampak kelihatan dan terjadi kolaborasi pelaksanaan pembangunan yang saling membutuhkan dan menguntungkan[7]                       

PENUTUP
            Dari pembahasan tentang pendidikan kewarganegaraan perempuan dan upaya peningkatan partisipasi pembangunan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada anggapan dan respons  bahwa tangung jawab pembangunan seakan-akan terfokus pada tanggung jawab kaum laki-laki. Keterlibatan kaum perempuan masih terbatas pada pelaksana atau pelaku pembangunan. Pelibatan perempuan tidak dilakukan pada setiap tahapan-tahapan pembangunan itu sendiri. Konsep dan oreintasi pembangunan masih berorientasi pada netral gender. Orientasi ini pada gilirannya melahirkan kebijakan bahwa perempuan ada bersama laki-laki dalam pembangunan.
Untuk menghindari agar tidak terjadi ketidakadilan gender dan bias gender sejatinya   pelaksanaan pembangunan sudah dimulai dari orientasi pembangunan itu sendiri. Secara konsepsional bagaimana seharusnya pembangunan itu direncanakan dengan pembangunan yang berwawasan gender, yaitu dengan penguatan prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Manakala orientasi, konsep, dan upaya pembangunan sudah difokuskan pada prinsip dan pendekatan pemberdayaan perempuan, maka sejak awal berarti pembangunan sudah disetting untuk tidak bias gender. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan sudah mendapat ligitimasi yang kuat dan tidak muncul tiba-tiba. Pelibatan perempuan dilakukan pada setiap tahapan pembangunan.  








CATATAN AKHIR

[1]Ujang Mahadi, Buruknya Komunikasi Sebagai penyebab Terjadinya perceraian, Wonderful Publishing Company, Banten, 2006, hlm, 73.

[2] Wacana kepemimpinan perempuan dalam agama Islam terjadi polemik dan silang pendapat yang berbeda-beda. Masing-masing pendapat memberi argumentasi untuk memperkuat pendapatnya. Pro dan kontra dalam persoalan kepemimpinan perempuan terus terjadi sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini terjadi karena di satu sisi ditemukan penafsiran nash al-Quran dan hadis yang secara tektual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, sekalipun ada yang membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin. Sementara di sisi lain ada kenyataan yang obyektif munculnya sejumlah perempuan potensial yang dapat memberi pengaruh kuat terhadap masyarakap dan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Dalam teks-teks ajaran agama Islam digambarkan bahwa laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Untuk penegasan ini biasanya dalil yang sering dipergunakan sebagai argument penguatan supremasi ialah al-Quran surat al-Nisa’ (4) ayat 34. Dalam ayat ini dinyatakan, ”Kaum laki-laki itu adalah bertanggung jawab (pemimpin) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”       

[3] Atika , Potret perempuan Indonesia Dalam Pembangunan Menuju Masyarakat Modern, dalam “Nurani”, volume 4, Nomor 1, juni 2004, hlm. 27 dan 28.

[4] Atika , Ibid., hlm. 27.

[5] Rohimin, InferioritasKaum Perempuan Dalam Penafsiran Ayat-ayat Tentang Gender, dalam “Hawa”, edisi II, volume 1, 2007, hlm.9.

[6]Rohimin, Ibid., 9 dan 10.  

[7]Secara histories bila kita perhatikan kenyataan di dalam masyarkat kita, terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan ini memang tampak terjadi ketidakadilan, penindasan, dan terjadi domonasi peran, hak, dan tanggung jawab antara keduanya. Tampaknya perbedaan jender membakukan kenyataan hubungan kedua jensis kelamin yang berbeda. Menurut Maria Ety, didalam bukunya,”Perempuan Memutus Mata Rantai Asimetri”, Ketidak adilan ini harus diakui berpangkal stereotype yang masih kuat di dalam masyarakat yang patriarki. Sehingga ada pembagian kerja secara seksual yang membuat peran perempuan yang utama di lingkungan domestik dan peran utama laki-laki di lingkungan publik ( lihat, Ety, 2004 :18 ).